welcome

dian agus pranoto hidup adalah perjuangan

bendera

sejarah kota juwana

A. Sejarah sungai Juwana


Dalam buku sejarah Pati yang dikarang oleh Ahmadi S.Pd sungai Juwana berasal dari penyempitan selat muria. Pada abad ke VIII antara Gunung Muria dengan pulau jawa dipisahkan oleh selat. Namun karena endapan lumpur maka beberapa abab kemudian Gunung Muria dengan pulau jawa menyatu. Selat tersebut sekarang menjadi sebuah bengawan yang disebut bengawan Silugonggo, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan sungai Juwana.
Dahulu Bengawan Silugonggo menjadi pemisah antara kadipaten Parang Garudo dan kadipaten Carang Soko. Kadipaten Parang Garudo berada di sebelah selatan sungai s4edang Carangsoko berada disebelah Utara. Setelah terjadi perang besar antara kedua kadipaten tersebut maka kemudian kedua kadipaten disatukan oleh Kembang Joyo menjadi Kadipaten Pati. Maka untuk daerah disebelah selatan sungai Juwana dikenal dengan Pati selatan, sedangkan yang disebelah utara sungai dikenal dengan Pati utara.

B. Sungai Besar

Sungai Juwana merupakan sungai besar nan panjang. Sungai ini melalui lima kecamatan di kabupaten Pati yakni kecamatan Juwana, Pati kota Jakenan, Gabus dan Kayen, satu kecamatan di Kudus dan berahir di Babalan Demak. Menurut Welkipedia dibabalan ini sungai Juwana bertemu dengan sungai Serang/ Lusi yang berasal dari Wadug kedungombo.
Sungai Juwana Juga mempunyai anak sungai seperti Sungai Glonggong yang berhulu di Todanan Blora, sungai Jodag berhulu di Pucakwangi, sungai wates di Sukolilo, dan sungai Lodan. dari sebelah barat mengalir sungai sungai kecil yang berasal dari Waduk Seloromo di Gembong yang berada dilereng Muria.

C. Manfaat Sungai Juwana

Masyarakat tepi sungai Juwana banyak memanfaatkan aliran air sungai untuk keperluan pertanian. Kondisi tanah yang subur dan air yang tidak pernah kering dimanfaat petani untuk bercocok tanam.
Selain pertanian sebagian masyarakat memanfaatkan air untuk perikanan. didaerah Pati ada perikanan air tawar dan air payau. Seperti dikecamatan Juwana petani tambak sering memanfaatkan air sungai untuk keperluan perikanan.
Sungai Juwana adalah sungai yang besar sehingga dimanfaatkan pula untuk sarana transportasi. Namun sekarang manfaat tersebut hanya terhenti sebatas di Tempat Pelelangan Ikan ( TPI ) di desa Bajomulyo saja. Banyak kapal kapal ikan, bukan hanya dari daerah pati saja yang bongkar muat disana.

D. Kondisi Sungai Juwana



Setelah usia mencapai berabab-abab kondisi sungai juwana mulai terjadi pendangkalan. Pendangkalan ini disebabkan oleh endapan lumpur yang terbawa oleh air. dibeberapa bagian sedimentasi sampai membuat dasar sungai kelihatan, bahkan berbentuk daratan. Seperti di bawah jembatan Ngantru, dimusim kemarau penumpukan lumpur itu menyerupai pulau ditengah sungai. Pendangkalan ini jadi bermasah saat curah hujan tinggi.
Kondisi lebar sungai juga menyempit. Lebar sungai dibeberapa bagian sekarang kurang dari dari 50 m. Hal ini diperparah dengan adanya bangunana bangunan yang di dirikan di lambiran sungai. Bahkan menurut informasi banyak tanah lambiran sungai yang sudah disertifikatkan. Penyempitan ini tak ayal akan menimbulkan masalah bila musim penghujan tiba.
Kondisi air sungai juga perlu mendapat perhatian. Didaerah Juwana beberapa hari yang lalu dilaporkan kondisi air berubah warna dan mengeluarkan bau yang tidak sedap. Banyak ikan yang mati. Pembuangan limbah di tuding menjadi penyebabnya.

E. Masalah Sungai Juwana

Dampak paling besar yang di timbulkan sungai Juwana beberapa tahun terahir ini adalah banjir. Kedalaman dan lebar sungai disinyalir menjadi penyebab musibah rutin setiap tahun. Banjir yang datang selain merendam area persawahan juga meremdam pemukiman warga.
Selain itu banjir juga sering menutup akses jalan sehingga roda ekonomi terganggu. seperti banjir pada tahun 2008, selain memutus jalur kepati selatan banjir juga memutus jalur pantura. Banyak Truk pengangkut bahan makanan yang tertahan berhari hari karena banjir. Banjir juga selau merusak sarana jalan.
Masalah yang kedua adalah tentang pola pikir masyarakat akan kebersihan sungai Juwana. Terutama masalah limbah yang bisa mencemari sungai Juwana. Sehingga masalah seperti yang penulis sebut diatas tidak terjadi.
 Melihat kondisi seperti itu sungai Juwana harus segera di upayakan pembehan agar bencana yang setiap tahun datang bisa diminimalisir. Kalau tidak segera ada upaya kesana akan timbul masalah masalah baru. Anggaran yang menurut informasi 750 milyar semoga menjadikan sungai Juwana kebanggaan kabupaten Pati. Perhatian pemerintah Pusat dan Daerah akan menjadikan sungai Juwana berkah, tidak menjadi musibah.



ASAL USUL KOTA JUWANA



Sejarah Kepulauan Indonesia umumnya dan Tanah Jawa khususnya, ditemukan dari beberapa sumber yang agak berlainan satu dengan yang lain.Menurut keterangan yang didapat dalam Kitab Djojobojo, sebagian Tanah Jawa tadinya adalah sebuah pulau kosong yang angker dan sangar, dimana sama sekali belum ada penduduk manusianya.
Sementara menurut sejarah yang berdasarkan atas pendidikan, bahwa antara 2000 tahun yang telah lampau dipulau ini sudah ada penduduk aslinya, hanya pikiran mereka belum terbuka, hingga masih merupakan orang purba yang belum mengerti tata susila, belum mengerti caranya membuat rumah dan belum mempunyai tempat tinggal yang tetap. Mereka masih menggunakan batu yang dipertajam guna senjata untuk memburu maupun untuk berkelahi.Hidupnya adalah sangat sederhana dan selalu pindah kesana-kemari, hingga agak mirip dengan hidupnya burung atau yang didalam Kitab Djojobojo dikatakan Zman Kukilo.Lain sumber juga mengatakan, bahwa pada zaman Chun Ch’lu, antara 500 – 600 tahun sebelum Christus, Tiongkok berada didalam keadaan yang luar biasa kacaunya. Mulai dari Ping Wang tahun ke 49 sehingga Chin Wang tahun ke 39, yang sama sekali meminta tempo 242 tahun. Api peperangan yang mendasyat senantiasa menimpa Tionkok hingga rakyatnya merasa hidup dalam terror.
Oleh karena itu beberapa kelompok orang-orang disana berduyun-duyun menuju ke Tjempa. Ditempat inipun mereka merasa tidak aman karena gangguan terrorisme dari “The Reign of Terror” dilain pihak, maka mereka berduyun-duyung bersama menaiki perahu Djong untuk menuju keselatan dengan pikiran nekat dan kepercayaan mantap bahwa akhirnya mesti mendapat tempat guna berlindung. Demikianlah akhirnya diantara ribuah perahu Djong tadi sebagian ada yang mendarat di Philipina, sebagian ada yang mendarat di Borneo, Malay Peninsula, Sumatera dan sebagian pula ada yang mendarat di Pulau Jawa dan Pulau Bali.Di tempat-tempat tersebut, mereka segera tercocok tanam dan beternak, akan tetapi lambat lain pakaian mereka telah habis rusak, hingga terpaksa cara berpakaian mereka seperti pada waktu zaman purba di Tiongkok, sehingga setelah ditemukan kapas dan randu kapok di hutan-hutan yang mereka jadikan benang, barulah mereka dapat membuat alat tenun yang primitive sekali guna menenun dengan cara amat sederhana.Menurut sumber itu, diterangkan juga bahwa asal-usul penduduk Tanah Jawa memang sebagian dari Hindu dan sebagian pula dari Tiongkok.
Untuk membuktikan kebenarannya, kita dapat membedakan antara penduduk asli dikepulauan Indonesia umumnya terdiri dari sua type yaitu disatu fihak typenya Hindustania, kulitnya agak hitam jengat / sawo matang dengan matanya tidak sipit; tetapi dilain tempat tidak sedikit yang berkulit kuning langsat, matanya agak sipit, banyak mirip atau malah 100% seperti orang Tionghoa, hingga dalam masyrakat tidak jarang terjadi diantara orang Indonesia sendiri menyangka bahwa orang yang berhadapan dengan dirinya itu dikira orang Tionghoa. Hanya model pakaianya atau gigi pangur saja yang digunakan sebagai tanda guna membedakannya.Pada zaman itu Tanah Jawa diselumbungi udara Animisme begitu rupa.
Banyak orang suka memuja apa yang dipandangnya suci, suka sekali perihatin untuk menjalani ilmu-ilmu gaib dan kuat bertapa yang mempunyai pengaruh begitu mujizad.Misalnya walaupun justru udara bersih, matahari bersinar terang gelang-gemilang di atas angkasa yang biru, tetapi tiba-tiba datang seorang yang telah dipuncak pertapaannya, setelah berdiri dibawahnya sinar matahari sambil mencakupkan kedua tangannya dan berdoa sambil kedua matanya dimeramkan dan mendongkakan kepalanya, maka tidak lama kemudian awan mendung sekoyong-koyong bergulung-gulung begitu tebal dan sebentar pula hujan turun dibarengi suara angin menderu dan suara petir menyambar-nyambar kian kemari, hingga seolah-olah dunia sedang kiamat.
Demikianlah apa yang dikejar orang dalam jaman itu adalah “kedikjayaan”, sedang hal kemajuan lahir atau kekayaan lahir sama sekali tidak dimengerti. Masa itu Tanah Jawa merupakan suatu pulau yang amat kaya raya dengan kekayaan alam, yang sangat menarik perhatiannya perantau-perantau bansa Hindu, hingga kemudian berduyun-duyun datang kemari untuk berdagang dan untuk Bantu membuka pikiran rakyat yang masih diliputi oleh alam gelap, dan memimpin mereka untuk bercocok tanam, pertanian dan peternakan, sampai pula pada pemerintahan.Oleh karenanya maka pengaruhnya kesopanan dan kebudayaan Hndu di Indonesia umumnya dan Tanah Jawa khususnya dapat disejajarkan denan pengaruh kesopanan dan kebudayaan dari bangsa Romeinen diseluruh Europe.Antara rombongan bansa Hindu yang datang kemari, terdapat juga keturunan dari Warman Dynasty, yang selanjutnya diangkat menjadi Raja Hndu di Pulau Jawa yang pertama-tama, dengan memakai nama Kerajaan Tarumanegara, sedangkan Raja tersebut bergelar Purna Warman.Selain di Pulau Jawa, daerah lainpun seperti Kutai, Sukadana, Palembang dan lain-lain bagian dari kepulauan Indonesia mereka mengangkat juga raja-raja yang diangkat bangsa Hindu turunan dari Warman guna memerintah daerah-daerah yang dikunjungi.Waktu itu agama Hindu yang berkembang pertama kali adalah Brahmanisme, dimana tingkat derajat profesi manusia terbagi menjadi empat golongan.
Golongan pertama adalah Brahmana, ialah terdiri dari kaum Pendeta yang dipandang sebagai kaum cardinal.Golongan kedua adalah Satriya, ialah terdiri dari kaum Bangsawan.Golongan ketiga adalah Wasea, ialah terdiri dari kaum dagang, petani, tukang dan pekerjaan yang agak tinggi.Golongan keempat adalah Sudra, ialah tediri dari kaum buruh rendah dan kaum budak.Jadi pada saat itu sudah terjadi system pendidikan yang professional untuk masing-masing profesi yang dibagi menjadi empat golongan profesi dalam masyarakat. Sama halnya dengan jurusan professional dalam pendidikan moderen sekarang ini.Tapi system golongan professional ini tidak berjalan mulus karena golongan Sudra sering mendapat perlakuan tidak adil, yang begitu nyata membedakan tingkatan dan kaum.Lantaran adanya penyelewengan pelaksanaan system golongan professional ini maka tidak heran Agama Buddha dapat disambut dengan hangat sekali dari penduduk di Pulau Jawa, hingga bergantinya Agama Brahmanism ke Agama Buddha yang terjadi dengan sangat damai.
Pada Masehi tahun 414, Fahian, perantau bansa Tionghoa yang termasyur, telah tiba di pulau ini bersama empat orang kawannya. Mereka selain menjadi orang-orang Tionghoa pertama menginjakkan kakinya di sini dan terus menurunkan keturunannya sehingga merupakan sebagian golongan Tionghoa peranakan yang sebagai bangsa Asing, kecuali bangsa Hindu yang pertama kali datang di pulau ini.Menurut diary (catatan harian) dari Fahian, bahwa asal usulnya nama Pulau Jawa itu disatu fihak ada yang mengatakan berasal dari syairnya Ramayana, seorang Hindu (pendekar penyair) dalam bahasa Sanscrit yang telah hidup antara 300 tahun sebelum Christus, dimana antaralain dalam sjair itu telah menguraikan “Jawadwipa”, yang artinya : Jawa = Pahala, dan Dwipa = Pulau, sehingga “Jawa Dwipa” yang telah menjadi namanya pulau ini adalah membawa arti “Pulau dari Pahala” atau “Pulau Jasa”.Sementara menurut fihak lain ada dikatakan, bahwa waktu pertama kali bansa Hindu datang kemari telah melihat tetanaman Juwawut, semacam bahan makanan, juga dijual dipasar untuk bahan makanan burung perkutut piaraan, yang bumbuh begitu subur dan gemuk sekali dipulau ini, sehingga pulau ini dinamakan Juwawut dan penduduknya dinamakan Juwana.Kemudian oleh rombongan Tionghoa tadi, karena kata-kata Juwana mengandung suara huruf “Ju” = “Kasar” atau “Rendah kwalitasnya”, bahkan karena suara itu ditekan agak keras menjadi suara “Jao” = “Bau Busuk” atau “Orang yang rusak moralnya”, maka untuk menandai pelayaran Confucius tentang Tjiang Sim Pi atau teposeliro, orang Tionghoa merubah kata “Juwana” menjadi “Wana” yang bukan saja menjadi kata lebih singkat, tetapi artinya lebih baik bagi orang Tionghoa umumnya dan golongan lain-lain yang mengerti huruf dan bahasa Tionghoa.Sebutan “Wana” terhadap penduduk Pulau Jawa khususnya dan kepulauan Indonesia umumnya memiliki arti : Tanah yang subur; tetumbuhan yang tumbuh dengan subur; dan kaya raya.Sebutan “Wana” terhadap penduduk asli dari Tanah Jawa khususnya dan Indonesia umumnya itu jelas sudah bukan berarti ejekan atau hinaan, karena maksud yang benar dari kata-kata tersebut tak lain dan tak bukan adalah : Orang dari negeri yang tanahnya subur atau kaya.Lebih jauh dari keterangan tersebut, bukan saja orang-orang Tionghoa dalam zaman itu tidak suka menghina golongan bangsa lain, bahkan sudah begitu hati-hati untuk menjaga agar supaya dalam kata-katanya tidak sampai menyinggung perasaannya golongan bangsa lain, yang mana terbukti dihapuskannya suara kata “Jao” yang diartikan kurang baik.Sementara bukti atas kebenaran bahwa penduduk asli dikepulauan ini disebut Juwana, adalah dengan adanya nama kota Juwana, suatu tempat di daerah Jawa Tengah terletak antara Pati – Rembang. Menurut penuturan dalam zamannya Dempoawang (Sam Poo Twa Lang) waktu ia sampai ditempat yang dimaksud diatas lalu menayakan kepada seorang penduduk asli nama tempat tersebut, tetapi oleh penduduk setempat menyangka tamu yang datang menayakan kebangsaanya (maklum belum bisa bahasa Melayu yang sekarang disebut bahasa Indonesia serta jarang ketemu orang Asing), maka dijawablah “Juwana”.Oleh karena itu maka tempat tadi selanjutnya disebut Juwana hingga saat ini menjadi perkampungan Nelayan yang sukses di Kabupaten Pati


 ASAL USUL JEMBATAN SEGELAP JUWANA


Pada tahun 1479 Kerajaan Majapahit hancur karena adanya Kerajaan Demak (Raden Patah dan Wali Sanga). Pada tahun 1486, Pati yang merupakan Lereng gunung Muria, masih merupakan hutan belantara. Pada suatu hari, Sunan Muria pulang dari Sarasehan(pertemuan) di padepokan Sunan ngerang. Sesampainya di barat kota Pati, sekitar jam 3 sore atau waktu ashar, kebetulan di tepi hutan tadi terhalang sungai yang sedang banjir. Sunan Muria mau menyeberang, tetapi tak ada perahu.Lalu beliau mengadakan sayembara, barang siapa yang bisa menyeberangkannya kalau laki-laki akan ia jadikan sebagai saudara sinorowedi (saudara sejati) kalau perempuan akan ia jadikan istri. Kebetulan di sebelah baratnya ada seorang wanita yang sedang menggembalakan kerbau bernama Dewi Sapsari puti Ki gedhe sebo Menggolo.

Setelah mendengar sayembara tersebut, dewi Sapsari dengan menunggang kerbau menyeberang ke timur. Lalu ia menyeberangkan Sunan Muria. Sesampai di tepi sungai sebelah barat, Sunan Muria menepati janjinya. Ia lalu ingin bertemu orang tua dari Dewi Sapsari dan akan menyuntingnya sebagai istri. Lalu Sunan Muria menikahi Dewi Sapsari. Sepeninggal beliau pulang ke padepokan Gunung Muria, Dewi Sapsari hamil. Lalu ia melahirkan seorang putra dan diberi nama Raden Bambang Kebo Nyabrang, sesuai pertemuannya dengan suaminya yaitu Sunan Muria.

Setelah dewasa, anak itu menanyakan siapa sebenarnya ayahandanya itu kepada kakeknya. Lalu kakeknya berkata kalau ia masih memiliki keturunan dengan Sunan Muria yang ada di padepokan Gunung Muria. Setelah mendengar hal tersebut, R. Bambang Kebo Nyabrang pergi berangkat ke Gunung Muria. Sesampainya di padepokan, ia bertemu dangan Sunan Muria. Tetapi Sunan Muria tidak mudah percaya dengan anak itu. Lalu Sunan Muria memerintah Raden Bambang Kebo Nyabrang untuk membawa Pintu Gerbang Majapahit ke hadapannya kalau ia mau diakui sebagai anak. Lalu berangkatlah R. bambang Kebo Nyabrang ke Bajang Ratu yang merupakan bekas Kerajaan Majapahit. Yang sekarang menjadi Kota Trowulan Kabupaten Mojokerto Jawa Timur. Ia harus segera berangkat karena ia hanya diberi waktu 1x 24 jam.Di lain tempat, yaitu di padepokan DSunan Ngerang, terdapat salah seorang muridnya yang bernama Raden Ronggo yang ingin menyunting putrid Sunan Ngerang, yang bernama Roro Pujiwat. Roro Pujiwat mau diperistri apabila Raden Ronggo bersedia memboyong Pintu Gerbang majapahit ke padepokan.Lalu R. Ronggo pun berangkat ke bekas Kerajaan Majapahit.

Tetapi, ia kecewa karena sesampainya di sana barang tersebut sudah tak ada (sudah diboyong oleh R. Kebo Nyabrang). Lalu Raden Ronggo segera mengejarnya kea rah barat. Ssampainya di barat kota Pati, R. Rongo masuk kawasan hutan. Disana ia melihat pohon Kenanga yang berbentuk mirip kurungan(sangkar). Kemudian ia menamai dukuh tersebut dengan nama Sekar Kurung. Lalu ia melanjutkan misinya untuk mengejar R. Kebo Nyabrang. Dan ia pun menemukan R. Kebo Nyabrang yang sedang istirahat. Pintu itu pun dimintanya. Tetapi tidak diberikan oleh R. Kebo Nyabrang. Akhgirnya timbul peperangan. Dalam peperangan tersebut,penyangga pintu tersebut tercecer sehingga tempat tersebut di beri nama “Njelawang” (Ganjel Lawang). Kemudian mereka menuju ke barat saat itu jam dua belas siang saat semua orang harus beristirahat dan melaksanakan sholat Dhuhur. Maka tempat tersebut diberi nama dukuh “Nduren” (samu barang kudu leren). Mereka bertarung selama 35 hari. Lalu Sunan Muria turun kea rah timur. Ia pun melihat dua orang bertarung dengan jelas. Dalam Bahasa Jawa, jelas diartikan “cetho welo-welo”, sehingga tempat tersebut diberi nama Dukuh Towelo/ Trowelo. Lalu Sunan Muria turun ke tempat kedua orang tersebut bertarung. Lalu beliau berkata “ Wis padha lerena sak kloron padha bandhole”. Lalu berhentilah kedua orang tersebut bertarung. Sehingga tempat tersebut hingga sekarang di namai dukuh “Rendhole” (sak kloron padha bandhole). Sunan Muria pun lalu mengakui R. Kebo Nyabrang menjadi anaknya. Dan beliau menyuruh anaknya tersebut untuk menjadi penjaga gerbang ini . Setelah Sunan Muria berkata “jaganen !!” (jagalah) maka ia pun langsung mninggal dan hilang nyawanya karena sebagai seorang penjaga harus tidak terlihat. Dan R. Ronggo diberi “katek “ oleh Sunan Muria untuk dibawa ke padepokan. Tetapi sesampainya di sana Roro Pujiwat tidak menerimanya. Raden Ronggo pun marah dan mengejarnya hingga ke barat. Sesampinya di sungai Juwana Roro Pujiwat berhenti. R. Ronggo yang marah lalu melempar katek tersebut kearah Roro Pujiwat. Roro Pujiwat meninggal. Katek tersebut hilang seperti kilat. Sehingga sampai sekarang dinamai “Segelap”.

mitos pulau seprapat

Pesugihan Pulau Seprapat Juana, kab. Pati 

Cara orang menjadi kaya tidak ubahnya pepatah “Banyak jalan menuju Roma”. Mulai dari mengandalkan akal pikiran serta logika, sampai cara pintas yang hanya mengandalkan nafsu keduniawian semata. Yakni, dengan mendatangkan kekayaan lewat tempat pesugihan. Satu lagi, tempat pesugihan mujarab yang saat ini masih sering didatangi pelaku pesugihan, yakni pulau Seprapat, Pati, Jawa Tengah. Namun pulau kecil ini sampai sekarang tetap menyimpan misteri.
Anda ingin kaya mendadak? Tinggal tunggu saja wangsit turun lewat mimpi. Namun, wangsit pesugihan itu hanya akan turun ketika seseorang melakukan tirakatan di pulau Seprapat yang terletak di muara sungai Silungonggo, Pati, dan berada di pantai laut teluk Jawa. Aroma mistik sudah terasa ketika Anda memasuki pulau yang memliki luas hanya 110 X 65 meter itu. Selain pepohonan, di pulau tersebut orang dapat menemukan makam tua yang bertuah.
Itulah makam yang sering disebut-sebut sebagai makam seorang wali yang bernama Ki Lodang Datuk Wali Joko. Semasa hidupnya, Ki Lodang dikenal sebagai tokoh yang kebal bermacam-macam kekuatan gaib. Termasuk, tidak mempan dikirim hawa panas macam santet dan tenung dari orang pintar yang bermaksud jahat. Bagi peziarah yang ingin sampai di pulau Silungonggo, lebih dulu harus menemui juru kunci tempat keramat itu, namanya Salimin.
Lelaki renta ini siap mengantar siapa saja yang berziarah. Termasuk berperan menghantar doa dan permohonan yang diinginkan peziarah ke hadapan arwah Ki Lodang Datuk. Di sini, ada syarat utama yang harus dipatuhi peziarah. Yakni, hanya diperbolehkan melakukan ziarah pada malam hari. Setelah matahari tidak terlihat lagi di atas awang-awang. Sebaliknya jika terlanjur datang siang hari maka disarankan agar lebih dulu beristirahat di rumah Mbah Salimin.
Perlengkapan ritual yang dibutuhkan berupa kembang boreh, dan kembang setaman yang ditambah dengan sesaji lain. Namun, karena sang juru kunci, Mbah Salimin satu-satunya mata pencahariannya mengantar peziarah, maka dia mengenakan biaya pengawalan pada peziarah sekitar Rp150 ribu sampai Rp200 ribu.
Tepatnya, bila malam telah merayap Mbah Salimin akan mengantar peziarah perorangan atau rombongan ke makam sang wali. Modal dia hanya sebuah perahu tradisional yang siap setiap setia menyusuri sungai Silungonggo menuju ke pulau Seprapat. Sesampainya di sana, Mbah Salimin mengajak peziarah memasuki sebuah makam tua. Di tempat ini, siapa saja diharuskan berdoa memohon apa yang diinginkan. Mbah Salimin sendiri yang akan membimbing mereka.
Hanya saja, cara dan metode berdoa tergantung dengan kepercayaan masing-masing. Itu pun boleh dilakukan dengan cara bersila, tiduran, atau bahkan dengan tidur beneran. Selama semalam di tengah ritual memohon, peminta kekayaan diharuskan merendah dengan khusyuk mengheningkan cipta. Larut dalam suasana sakral di tengah malam tirakat yang dia jalankan.
Biasanya, pada tengah malam pelaku dengan sendirinya akan keletihan, selebihnya seperti tersirep langsung tertidur. Dan, di tengah tidurnya itulah wangsit biasanya turun. Memberikan petunjuk cara mendapatkan kekayaan sekaligus usaha-usaha yang harus ditekuni. Begitu peziarah tertidur Mbah Salimin akan meniggalkannya seorang diri dan kembali menjemput setelah matahari kembali bersinar.
Sesuai wangsit yang datang di tengah kegelapan malam itu, siapa saja akan menjadi kaya raya dalam waktu tidak lama. Namun, sebagaimana persyaratan yang harus dipenuhi, peminta pesugihan selebihnya akan menjalin perjanjian batin dengan penunggu pulau itu. Yakni, ditunjukan dengan kembali berziarah ke makam Ki Lodang setiap setahun sekali atau maksimal 1.000 hari.
Di samping itu, masih ada perjanjian lain yang lebih mengerikan. Bagi siapa saja yang sudah mengikat kontrak dengan penunggu makam Ki Lodang, harus merelakan salah satu orang yang dicintai sebagai tumbal. Bisa anak kandung atau keponakan. Biasanya, kurang dari 40 hari setelah berziarah orang yang ditumbalkan akan menemui ajalnya dengan cara mengenaskan, seperti kecelakaan, dibunuh orang, atau mati mendadak.
Konon, setelah mati arwahnya akan menjadi kera jadi-jadian yang menghuni pulau tersebut. Karena itu, bila suatu saat Anda berkunjung ke pulau ini, Anda akan didekati oleh seekor kera. Perwujudannya memang binatang, tapi sebenarnya dia memiliki jiwa dan perasaan layaknya manusia. Begitu mata bertatap tiba-tiba ia akan meneteskan air mata kesedihan sambil menatap dalam-dalam orang yang datang.
Mungkin dia meratapi nasibnya yang dijadikan tumbal oleh orang tuanya. Juga merasa iba menyaksikan tumbal-tumbal baru akan datang di pulau penuh misteri tersebut. Untuk menghilangkan kesedihan dan menghibur sang kera, Mbah Salimin biasanya meminta peziarah yang balik ke pulau membawa barang-barang kesukaan anak-anak atau orang yang telah dia jadikan tumbal.
Bisa berupa pakaian, mainan, atau makanan kegemaran. Anehnya, yang bisa melihat kera itu hanyalah mereka yang pernah menjalin perjanjian gaib saja. Konon, kemampuan melihat alam gaib itu lantaran dalam dirinya sudah menjadi bagian dari alam gaib pulau Seprapat. Setidaknya, jika dia mati kelak arwahnya juga akan menjelma menjadi kera jadi-jadian penunggu pulau sunyi tersebut.
Tak heran, jika di pulau kecil itu sampai saat ini masih sering ditemukan benda-benda kesukaan anak-anak, seperti boneka, mainan, atau bantal kecil. Namun, asal-usul benda itu pun masih misterius, apakah pembawaan para peziarah atau benda yang hanyut terbawa arus sungai yang meluap ? Yang jelas, pulau itu masih menyimpan sejuta misteri.

sumber http://ketoprakjawa.wordpress.com/2010/12/03/pesugihan-pulau-seprapat-juana-kab-pati/

 sejarah kota pati

Sejarah Pati

Sejarah Kabupaten Pati berpangkal tolak dari beberapa gambar yang terdapat pada Lambang Daerah Kabupaten Pati yang sudah disahkan dalam Peraturan Daerah No. 1 Tahun 1971 yaitu Gambar yang berupa: “KERIS RAMBUT PINUTUNG DAN KULUK KANIRAGA”.
Menurut cerita rakyat dari mulut ke mulut yang terdapat juga pada kitab Babat Pati dan kitab Babat lainnya dua pusaka yaitu “KERIS RAMBUT PINUTUNG DAN KULUK KANIRAGA” merupakan lambang kekuasan dan kekuatan yang juga merupakan simbul kesatuan dan persatuan.
Barangsiapa yang memiliki dua pusaka tersebut, akan mampu menguasai dan berkuasa memerintah di Pulau Jawa. Adapun yang memiliki dua pusaka tersebut adalah Raden Sukmayana penggede Majasemi andalan Kadipaten Carangsoka.

Kevakuman Pemerintahan di Pulau Jawa

Menjelang akhir abad ke XIII sekitar tahun 1292 Masehi di Pulau Jawa vakum penguasa pemerintahan yang berwibawa. Kerajaan Pajajaran mulai runtuh, Kerajaan Singasari surut, sedang Kerajaan Majapahit belum berdiri.
Di Pantai utara Pulau Jawa Tengah sekitar Gunung Muria bagian Timur muncul penguasa lokal yang mengangkat dirinya sebagai adipati, wilayah kekuasaannya disebut kadipaten.
Ada dua penguasa lokal di wilayah itu yaitu. 1. Penguasa Kadipaten Paranggaruda, Adipatinya bernama Yudhapati, wilayah kekuasaannya meliputi sungai Juwana ke selatan, sampai pegunungan Gamping Utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Grobogan. Mempunyai putra bernama Raden Jasari. 2. Penguasa Kadipaten Carangsoka, Adipatinya bernama: Puspa Andungjaya, wilayah kekuasaannya meliputi utara sungai Juwana sampai pantai Utara Jawa Tengah bagian timur. Adipati Carangsoka mempunyai seorang putri bernama Rara Rayungwulan.

Kadipaten Carangsoka dan Paranggaruda Berbesanan

Kedua Kadipaten tersebut hidup rukun dan damai, saling menghormati dan saling menghargai untuk melestarikan kerukunan dan memperkuat tali persaudaraan, Kedua adipati tersebut bersepakat untuk mengawinkan putra dan putrinya itu. Utusan Adipati Paranggaruda untuk meminang Rara Rayungwulan telah diterima, namun calon mempelai putri minta bebana agar pada saat pahargyan boja wiwaha daup (resepsi) dimeriahkan dengan pagelaran wayang dengan dalang kondang yang bernama “Sapanyana”.
Untuk memenuhi bebana itu, Adipati Paranggaruda menugaskan penggede kemaguhan bernama Yuyurumpung agul-agul Paranggaruda. Sebelum melaksanakan tugasnya, lebih dulu Yuyurumpung berniat melumpuhkan kewibawaan Kadipaten Carangsoka dengan cara menguasai dua pusaka milik Sukmayana di Majasemi. Dengan bantuan uSondong Majerukn kedua pusaka itu dapat dicurinya namun sebelum dua pusaka itu diserahkan kepada Yuyurumpung, dapat direbut kembali oleh Sondong Makerti dari Wedari. Bahkan Sondong Majeruk tewas dalam perkelahian dengan Sondong Makerti. Dan Pusaka itu diserahkan kembali kepada Raden Sukmayana. Usaha Yuyurumpung untuk menguasai dan memiliki dua pusaka itu gagal.
Walaupun demikian Yuyurumpung tetap melanjutkan tugasnya untuk mencari Dalang Sapanyana agar perkawinan putra Adipati Paranggaruda tidak mangalami kegagalan (berhasil dengan baik).
Pada Malam pahargyan bojana wiwaha (resepsi) perkawinaan dapat diselenggarakan di Kadipaten Carangsoka dengan Pagelaran Wayang Kulit oleh Ki Dalang Sapanyana. Di luar dugaan pahargyan baru saja dimulai, tiba-tiba mempelai putri meninggalkan kursi pelaminan menuju ke panggung dan seterusnya melarikan diri bersama Dalang Sapanyana. Pahargyan perkawinan antara ” Raden Jasari ” dan ” Rara Rayungwulan ” gagal total.
Adipati Yudhapati merasa dipermalukan, emosi tak dapat dikendalikan lagi. Sekaligus menyatakan permusuhan terhadap Adipati Carangsoka. Dan peperangan tidak dapat dielakkan. Raden Sukmayana dari Kadipaten Carangsoka mempimpin prajurit Carangsoka, mengalami luka parah dan kemudian wafat. Raden Kembangjaya (adik kandung Raden Sukmayana) meneruskan peperangan. Dengan dibantu oleh Dalang Sapanyana, dan yang menggunakan kedua pusaka itu dapat menghancurkan prajurit Paranggaruda. Adipati Paranggaruda, Yudhapati dan putera lelakinya gugur dalam palagan membela kehormatan dan gengsinya.
Oleh Adipati Carangsoka, karena jasanya Raden Kembangjaya dikawinkan dengan Rara Rayungwulan kemudian diangkat menjadi pengganti Carangsoka. Sedang dalang Sapanyana diangkat menjadi patihnya dengan nama ” Singasari “.

Kadipaten Pesantenan

Untuk mengatur pemerintahan yang semakin luas wilayahnya ke bagian selatan, Adipati Raden Kembangjaya memindahkan pusat pemerintahannya dari Carangsoka ke Desa Kemiri dengan mengganti nama ” Kadipaten Pesantenan dengan gelar ” Adipati Jayakusuma di Pesantenan.
Adipati Jayakusuma hanya mempunyai seorang putra tunggal yaitu ” Raden Tambra “. Setelah ayahnya wafat, Raden Tambra diangkat menjadi Adipati Pesantenan, dengan gelar ” Adipati Tambranegara “. Dalam menjalankan tugas pemerintahan Adipati Tambranegara bertindak arif dan bijaksana. Menjadi songsong agung yang sangat memperhatikan nasib rakyatnya, serta menjadi pengayom bagi hamba sahayanya. Kehidupan rakyatnya penuh dengan kerukunan, kedamaian, ketenangan dan kesejahteraannya semakin meningkat.

Kabupaten Pati

Untuk dapat mengembangkan pembangunan dan memajukan pemerintahan di wilayahnya Adipati Raden Tambranegara memindahkan pusat pemerintahan Kadipaten Pesantenan yang semula berada di desa Kemiri menuju ke arah barat yaitu, di desa Kaborongan, dan mengganti nama Kadipaten Pesantenan menjadi Kadipaten Pati.
Dalam prasasti Tuhannaru, yang diketemukan di desa Sidateka, wilayah Kabupaten Majakerta yang tersimpan di musium Trowulan. Prasasti itu terdapat pada delapan Lempengan Baja, dan bertuliskan huruf Jawa kuna. Pada lempengan yang keempat antara lain berbunyi bahwa : ….. Raja Majapahit, Raden Jayanegara menambah gelarnya dengan ABHISEKA WIRALANDA GOPALA pada tanggal 13 Desember 1323 M. Dengan patihnya yang setia dan berani bernama DYAH MALAYUDA dengan gelar RAKAI, Pada saat pengumuman itu bersamaan dengan pisuwanan agung yang dihadiri dari Kadipaten pantai utara Jawa Tengah bagian Timur termasuk Raden Tambranegara berada di dalamnya.

Pati Bagian dari Majapahit

Raja Jayanegara dari Majapahit mengakui wilayah kekuasaan para Adipati itu dengan memberi status sebagai tanah predikan, dengan syarat bahwa para Adipati itu setiap tahun harus menyerahkan Upeti berupa bunga.
Bahwa Adipati Raden Tambranegara juga hadir dalam pisuwanan agung di Majapahit itu terdapat juga dalam Kitab Babad Pati, yang disusun oleh K.M. Sosrosumarto dan S.Dibyasudira, diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1980. Halaman 34, Pupuh Dandanggula pada : 12 yang lengkapnya berbunyi : ….. Tan alami pajajaran kendhih, keratonnya ing tanah Jawa angalih Majapahite, ingkang jumeneng ratu, Brawijaya ingkang kapih kalih, ya Jaka Pekik wasta, putra Jaka Suruh, Kyai Ageng Pathi nama, Raden Tambranegara sumewa maring Keraton Majalengka.
Artinya Tidak lama kemudian Kerajaan Pajajaran kalah, Kerajaan Tanah Jawa lalu pindah ke Majapahit, adapun yang menjadi rajanya adalah Brawijaya II, yaitu Jaka Pekik namanya, putranya Jaka Suruh. Pada waktu itu Kyai Ageng Pati, yang bernama Tambranegara menghadap ke Majalengka, yaitu Majapahit.
Berdasarkan hal tersebut, jelaslah bahwa Raden Tambranegara Adipati Pati turut serta hadir dalam pisowanan agung di Majapahit. Pisowanan agung yang dihadiri oleh Raden Tambranegara ke Majapahit pada tanggal 13 Desember 1323, maka diperkirakan bahwa pindahnya Kadipaten Pesantenan dari Desa Kemiri ke Desa Kaborongan dan menjadi Kabupaten Pati itu pada bulan Juli dan Agustus 1323 M (Masehi). Ada tiga tanggal yang baik pada bulan Juli dan Agustus 1323 yaitu : 3 Juli, 7 Agustus dan 14 Agustus 1323.

Hari Jadi Pati

Kemudian diadakan seminar pada tanggal 28 September 1993 di Pendopo Kabupaten Pati yang dihadiri oleh para perwakilan lapisan masyarakat Kabupaten Pati, para guru sejarah SLTA se Kabupaten Pati, Konsultan, Dosen Fakultas Sastra dan Sejarah UNDIP Semarang, secara musyawarah dan sepakat memutuskan bahwa pada tanggal 7 Agustus 1323 sebagai hari kepindahan Kadipaten Pesantenan di Desa Kemiri ke Desa Kaborongan menjadi Kabupaten Pati.
Tanggai 7 Agustus 1323 sebagai HARI JADI KABUPATEN PATI telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pati Nomor : 2/1994 tanggal 31 Mei 1994, sehingga menjadi momentum HARI JADI KABUPATEN PATI dengan surya sengkala ” KRIDANE PANEMBAH GEBYARING BUMI ” yang bermakna ” Dengan bekerja keras dan penuh do’a kita gali Bumi Pati untuk meningkatkan kesejahteraan lahiriah dan batiniah “. Untuk itu maka setiap tanggal 7 Agustus 1323 yang ditetapkan dan diperingati sebagai ” HARI JADI KABUPATEN PATI “.

Geografi

Sebagian besar wilayah Kabupaten Pati adalah dataran rendah. Bagian selatan (perbatasan dengan Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Blora) terdapat rangkaian Pegunungan Kapur Utara. Bagian barat laut (perbatasan dengan Kabupaten Kudus dan Kabupaten Jepara) berupa perbukitan. Sungai terbesar adalah Kali Juwana, yang bermuara di daerah Juwana.
Ibukota Kabupaten Pati terletak tengah-tengah wilayah Kabupaten, berada di jalur pantura Semarang-Surabaya, sekitar 75 km sebelah timur Semarang. Jalur ini merupakan jalur ramai yang menunjukkan diri sebagai jalur transit. Kelemahan terbesar dari jalur ini adalah kecilnya jalan, hanya memuat dua jalur, sehingga untuk berpapasan cukup sulit.
Terdapat sungai besar yaitu sungai Ngantru. Saat musim penghujan sudah terbiasa sungai ini meluap, sehingga pemerintah Jawa Tengah membentuk lembaga yang berfungsi menanggulangi banjir yang bernama Jatrunseluna.

Pembagian administratif

Kabupaten Pati terdiri atas 21 kecamatan, yang dibagi lagi atas 400 desa dan 5 kelurahan. Pusat pemerintahan berada di Kecamatan Pati.
Kota-kota kecamatan lainnya yang cukup signifikan adalah Juwana dan Tayu, keduanya merupakan kota pelabuhan yang berada di pesisir Laut Jawa, juga Kecamatan Winong.

Pariwisata

Salah satu obyek wisata sejarah di Pati adalah bekas Pintu Kerajaan Majapahit yang terletak di kota Pati, konon pintu ini dibawa oleh Kebo Anabang atas perintah Sunan Muria. Juwana merupakan kota pelabuhan dimana terdapat kerajinan kuningan. Obyek wisata lain diantaranya adalah Waduk Gunung Rowo, yang terletak di bagian utara.
Di daerah Margorejo terdapat mata air yang cukup besar, yang digunakan untuk kolam renang. Nama tempat tersebut adalah Banyu Urip. Di sekitarnya terdapat perkebunan jambu monyet (mete).
Di daerah Gunung Muria, yaitu di daerah Gembong, terdapat waduk yang diberi nama Selo Romo. Waduk ini termasuk berukuran kecil, jika musim kemarau, pasti akan dangkal. Di sekitar waduk sering dipakai sebagai area perkemahan.

sumber http://asaldansejarah.blogspot.com/2009/02/sejarah-pati-indonesia.html

DUMADINE DESA BAKARAN, JUWANA

Ceritane desa Bakaran kuwi ngene. Desa Bakaran kuwi asale alas sing diobong. Papan pangonane ning wilayah Pati. Tembung obong padha karo bakar dadi langsung dijenengi desa Bakaran amarga asale saka obong-obongan utawa bakar-bakaran. Alas diobong amarga ana sing tau seneng Nyi Ageng, nanging dheweke durung bisa nampa. ing ngisor salah sijining syarat kang dijaluk Nyi Ageng. Syarat kang dijaluk marang jaka kuwi unine kaya ngene:
Aku gelem nampa lamaranmu yen awakmu bisa gaweke pitung sumur kanggo aku.
Ya, Ageng yen mung kuwi panjalukanmu bakal tak turuti.” “Nanging kang tak jaluk sesuk kudu wis rampung.”
Sesuk, apa Ageng sesuk kudu wis dadi ora salah kuwi?
Ya sesuk, piye awakmu sanggup ora?
Ya, Ageng. Aku sanggup.” Jaka kuwi mau akhire gelem nyagohi gaweke pitung sumur kanggo Nyi Ageng. Nanging Nyi Ageng bingung amarga dheweke bisa gawe pitung sumur.
Jaka mau njaluk rewang lelembut lan bangsa alus (setan, jin, dhemit, gendruwo lan saliyane). Akhire Nyi Ageng duwe cara kang bisa nggagalke kuwi mau. Dheweke ning sawah nglumpuke dami kang arep diobong ning tengah sawah. Dheweke uga ngongkon wong neng desa numbuk lesung. Para lelembut lan bangsa alus kuwi mau akhire ora bisa ngrewangi nganti rampung amarga dikira wis wayah esuk. Bangsa alus kuwi mau wedi yen ana srengenge.
Dami sing diobong neng tengah sawah mau dikira srengenge arep mlethek. Suarane lesung sing saut-sautan lan wayah jago kluruk. Kabeh kuwi mau nandhake yen wis wayah esuk. Nyi Ageng kuwi salah sijining tokoh wira ning desa Bakaran. Dheweke uga kang jenake desa Bakaran. Nyi Ageng ora ninggal, nanging dheweke muksa sapa kang bakal pengin ketemu kuwi bisa. Nanging kabeh ana syarate mbuh kuwi pasa muteh utawa pasa Senin Kemis lan sapiturute. Dheweke uga ninggal unen-unen kanggo anak putune sing urip ning desa Bakaran.
Unen – unen kuwi kaya ngene unine: “He anak putuku kang ana ing Bakaran. Supaya awakmu urip ing Desa Bakaran, bisa slamet uripe, uga wareg sandhang lan pangan, mula awakmu aja wani-wani nglanggar larangan sing daksebutake kaya ing ngisor iki:
1. Aja dodol sego
2. Aja medel (wenter kain batik)
3. Aja mande (obong-obongan)
4. Aja gawe omah saka bata abang”
Kuwi pawelingku kanggo anak putuku kabeh kang ana ning desa Bakaran. Dadi ing ngendi wae papan panggonanmu yen awakmu asli wong Bakaran aja nganti lali karo apa sing wis dakwelingake.”
Aja dodol sego!” miturut wong Jawa wong dodol sego kuwi ora apik. Sego kuwi panganan pokok, kang dipangan saben dina. Dodol sego kuwi padha karo adol rejekine dhewe. Sego kuwi luwih becik diwenehke katimbang didol. Oleh adol sego nanging kudu mbok olah ora mung rupa sego. Sego kuwi bisa diolah dadi lontong, bubur, sego mener lan sego loyang, lan saliyane. Dadi yen awakmu kepengin dodol sego kuwi ana usahane masak lan liya-liyane. Ora mung rupa sego nanging bisa digawe macem –macem, uga maneka warna bentuk lan rasane.
Aja medel (wenter kain batik)!” pancen bener Bakaran kuwi wis kawentar batik tulise lan trasi Bakarane. Nyi Ageng biyene seneng nganggo batik tulis lan jarikan. Dheweke saben dina uga nganggo tapeh tulis. Wong Bakaran uga duweni ketrampilan pinter mbatik. Nyi Ageng kuwi wanti-wanti aja nganti medel amarga kerjane gedhe bebaya. Saben dina kudu ing cedhake geni terus lan banyu umub, mula wedine yen ana kobongan lan kutahan banyu umub. Nyelup batikan kuwi kudu ati-ati amarga panas banget. Yen ora bisa ora usah, amarga malah bisa kutahan banyu umub kang dienggo medel batik.
Aja mande obong-obongan!”urip ing Bakaran iki pancen akeh aturan nanging kepenak. Wong Bakaran aja nganti mande yakuwi kaya wong gawe wesi kaya ngelas wesi. Kuwi bebayane gedhe amarga bisa ngrusak mpripat. Pusate jagad kuwi ya mung mpripat.
Yen mpripate wis ora loro lan ora bisa ndeleng mula jagad iki rasane petheng dhedhet. Kanggo njagani kabeh kudu ati – ati. Kejaba ngrusak mpripat uga bisa ngrusak saliyane. “Aja gawe omah saka bata abang!” pundhen Bakaran kuwi digawe saka bata abang. Punden kuwi biyene omahe Nyi Ageng dhewe.
Saiki didandani kanggo ngurmati Nyi Ageng. Dheweke ora kepengin, ana wong liya kang bisa ngembari. Mula wong Bakaran kabeh omahe saka bata putih. Kejaba wong kang isih mamang lan durung mantep. Omahe digawe saka bata separo abang, kang separo bata putih. Bata abang kuwi asale uga saka obong-obongan. Ing sacedhake pundhen kuwi uga ana sumur gawenane priya sing tau seneng dheweke. Sabenere wong Bakaran kuwi ora oleh nggawe sumur ing jero omah. Ing njero sumur kuwi ora ana banyune. Lha banyu kuwi sumbere kanggo kabeh manungsa supaya bisa urip. Kang mbutuhke banyu kuwi wong akeh ora mung awake dheweke. Wong liya uga butuh banyu kanggo saben dinane. Mula sumure aja didokok ing jero omah nanging didokok ing sajabaning omah. Kuwi banyu sumbere wong urip. Sumur kang sacedhake pundhen kuwi jenenge sumur tiban amarga kanggo sumpah-sumpahan. Kuwi kanggo nduduhake kang salah bakale seleh lan sing bener bakal mujur. Nganti saiki sumur banyune isih tetep bening.
Nyi Ageng kuwi wong wadon sing ayu rupane. Mula kabeh priya seneng lan kedanan karo dheweke. Wong tuane kuwi biasa uripe uga sedherhana. Kawit cilik dituturi uripe kuwi mung sepisan mula kudu apik marang apa wae. Nanging watake kuwi ana sing nurun ibune uga ana kang nuruni bapake. Wong tuwane kuwi duwe sawah nanging ora digarap dhewe. Senenge sawahe digarapake wong liya. Ageng biasane ngrewangi ibune mbatik neng omah. Kuwi salah sijining watak kang nuruni ibune. Bapake semana uga kejaba seneng sawahan dheweke uga seneng adu jago. Jarene adu jago bisa ngilangake pikiran sing lagi judheg. Nyi Ageng uga seneng dolanan pitik jago. Saben dina, Ageng mesthi dijak bapake ndeleng adu jago. Nyi Ageng putri kinasih bapake. Dadi dheweke uga pinter ngrumat pitik kuwi mau, amarga saben dina dheweke weruh bapake piye carane ngrumat jagone. Nyi Ageng duwe sedulur lanang nanging wis ninggal. Kangmase ninggal sadurunge dheweke lair, mula Ageng kuwi dieman-eman. Kepengine bapake Nyi Ageng kuwi dadi bocah wadon sing kuwat lan wani. Jeneng asline kuwi Niken Banowati nanging jeneng cilikane Sabirah. Tegese kuwi supaya besuk dadi wong sing sabar lan tabah ngadhepi cobaan urip ing donya.
Nyi Ageng urip ing Bakaran wektu jamane transisi Kerjaan Majapahit ning Kerajaan Demak kuwi abad 16. Ibune Ageng batikane wis kawentar ing mancanegara. Ibune Ageng kuwi jenenge Niken yen bapake jenenge Bono. Banjur duwe anak dijenengke Niken Banowati. Sawise kuwi Ibune Ageng ninggal amarga kutahan banyu umub olehe medel. Mula ibune sadurunge ninggal pesen karo Nyi Ageng.
Kaya ngene pesene: “Ndhuk Ageng, besuk turuna karo anak putumu aja konggon medel, salah siji wae sing nglakoni kaya aku iki.”
Injih, Bu!
Uga aja adol sego, ya ndhuk yen ana wong sing njaluk mangan wenehana. Adol sego kuwi padha karo adol rejekine awake dhewe.
Injih bu, Ageng manut sedaya pesen ibu.
Pokoke aja sing obong-obongan, ya ndhuk!
Injih bu, percayaa karo Ageng.
Ibu, uga nitip bapak dirumat sing apik.
Ibu, Ageng aja ditinggal.” Ibune Ageng banjur ninggal.
Saiki dheweke urip mung gari bapake. Benggang sedala bapake uga nyusul bojone. Nyi Ageng wis ora duwe sapa-sapa meneh. Ora duwe sanak lan kadhang. Dheweke urip ing desa dhewe. Bapake uga pesen yen dheweke kudu ngrumati jagone. Amarga jagone kuwi kang bakal bisa jaga awake yen ana wong kang bakal tumindhak ora becik. Kejaba batike ibune kawentar bapake semana uga wis kawentar anggone adu jago. Ora let suwe bapake uga ninggal amarga kaget wong kang wis dipercaya malah mbejani janji. Wong kuwi ora liya ya mung rewange Nyi Ageng dhewe. Amarga dheweke wis kancanan karo Dampo A Wang kang licik. Rewang kuwi di iming-imingi dhuwit akeh. Asale dheweke bisa ngalahke lan ngancurke Nyi Ageng. Krungu warta berita kaya ngana bapake banjur kaget. Sawahe bapake bangkrut lan uripe Nyi Ageng wis ora kaya biyen. Saben dina biyen rasane ayem lan tentrem. Ora kaya saiki saben dina mung tansah ngalamun jalaran lelakon urip kang lagi ditampa. Kejaba ngana bapake uga wis sepeh lan duweni penyakit kagetan. Dheweke ora ngira lan ora nyangka yen rewange bakal tumindak ora becik. Dheweke padha karo ditulung nanging malah menthung. Nyi Ageng mung bisa sabar lan tabah ngalami urip kang lagi entuk cobaan.
Sawise kedadean kuwi lan sadurunge bapake ninggal, Nyi Ageng diwanti-wanti bapake supaya aja gampang percaya karo wong liya. Jalaran wong liya saiki ora bisa dicekel omongane. Kejaba kuwi uga sering mblenjani janji. Luru wong jujur ora dhek biyen lan ora saiki kuwi pancen angel. Lambe kuwi larang regane. Ajining dhiri gumanthung ing lathi. Nyi Ageng saiki uga seneng dolanan pitik. Ing salah siwijining dina ana saudhagar saka China jenenge Dampo A Wang dhewe kepengin mertamu ing omahe Nyi Ageng, jenenge wis kawentar ing tlatah Pati. Dampo A Wang seneng karo Nyi Ageng amarga ayune kinyis-kinyis wong lanang ngendi kang ora kedanan. Nanging Nyi Ageng ora weruh yen dheweke disenengi. Nyi Ageng dijak adu jago karo Dampo A Wang. Sebenere dheweke kepengin duwe pitik kaya Nyi Ageng kang menangan dhewe. Saben tarung jagone ora tau kalah. Saiki Dampo A Wang wis ngerti Nyi Ageng kuwi senengane adu jago mula dheweke banjur ngajak tarung. Dheweke uga ngerti jago kaya ngapa kang bakal dienggo tarung. Dheweke ngerti saka wong liya kang wis mudheng Nyi Ageng.
Nanging wong kang takoni ora ngerti yen dheweke bakal tumindhak ala karo Nyi Ageng. Nanging ing ngendi wae becik bakal kethithik lan ala bakal ketara. Wong jujur bakal mujur, lan wong gawene ngapusi bakal konangan dhewe. Dampo A Wang sadurunge mertamu ing omahe Nyi Ageng dhewe takon-takon Nyi Ageng. Dheweke kepengin weruh apa kang bisa ngalahke Nyi Ageng. Dheweke yen bisa uga kepengin mboyong Nyi Ageng dadi garwane. Dheweke kuwi licik, biasa wong China ya ngana kae. Dheweke senengane yen tarung ora tau jujur, dheweke mesthi licik lan ana-ana wae alasane. Nanging Nyi Ageng durung ngerti yen musuhe duweni tumindhak kang ala. Wiwit ketemu Nyi Ageng kuwi wis ora seneng. Tindak-tanduke kang ora sopan lan andhap-asor. Kawit pisanan kuwi ora bakal seneng amarga tumindhake kang ora ngerti unggah-ungguh, lan tata krama. Sing dibanggakake mung negarane dhewe, yen negara China kuwi negara kang paling apik. Ya entuk-entuk wae ngapik-ngapik negarane lan ya pancen ora salah. Nanging mbok ya ndeleng papan panggonane. Wis diunekake salin jaman salin tatanan, salin enggon salin kedhaton. Kuwi rak wis jelas yen ngono kudu ngerti. Ing ngendi wae ana tata krama. Mung wae kudu eling papan siji karo sijine. Desa siji karo desa liyane. Kutha kae karo kutha anu.
Nagara kana karo nagara kene. Ora kabeh padha. Ana tata krama kang mung kanggo ing papan wates. Ana tata krama kang kanggo ing bebrayan umum. Ana tata krama kang wong sejagad. Ngecakake tata krama kuwi kudu empan papan. Ngelingi papane, ngelingi siuasi lan kondhisine. Ora kena digebyah uyah. Ing ngisor iki ana pacelathon antarane Dampo A Wang lan Nyi Ageng :
Piye Ageng yen adu jago, jarene jago ngonanmu menang terus.
Ya, ora papa.
Wani tenan apa ora, sajake kok menangan jagone kaya apa ta?
Jagone, jago Lurik.
Paling-paling musuh jagoku pisan terus kalah.
Dadi wong kuwi aja kokean sumbar kuwi ora becik.”
Kuwi rak miturut wong Jawa, nanging yen China rak ya ora ngana kuwi.
Ya, mula dakkandhani bener awakmu wong China, nanging saiki awakmu rak neng Jawa.
Oalah ngana, ta?” (nanging omongane sajak karo ngece). “Injih.” (dheweke jawabe isih tetep alus). Dampo A Wang bisa nyulap palu dadi pitik keter.
Dheweke ngerti musuh kang bakal diadhepi kuwi ora musuh kang gemen-gemen utawa baen-baen. Jenenge wis kawentar ing ngendi wae. Mula dheweke kepengin ngalahke supaya Nyi Ageng isin. Jago sing daden-daden kuwi mau pancen kuwat lan bisa diandelke. Wong China kuwi pancen pinter-pinter nanging uga licik. Sapa wae bakal kalah wong pitik musuh palu. Palu kuwi digawe saka wesi. Olehe adu jago kuwi ning tengah sawah. Sepisanan jagone Nyi Ageng kalah amarga jalune wis kena. Dheweke bingung pitik kang gawene menang terus kok bisa kalah. Saben tarung karo sapa wae jagone mesthi menang. Bareng tarung karo Dampo A Wang kok mak klepek. Nanging Nyi Ageng isih durung ngerti apa jalarane.
Jagone saben dina wis dirumat kaya pewelinge bapake. Nanging kok isih bisa kalah. Dheweke gumune ora jamak. Dheweke terus curiga kro Dampo A Wang. Wong China kawi licik-licik lan ora kena dipercaya. Dheweke wedi yen pitik kang didu tarung kuwi ora pitik tenanan. Tegese pitik daden-daden. Ya palu kuwi mau barang kang bisa disulap dadi pitik. Dheweke saiki banjur ngerti saka apa pitike Dampo A Wang kuwi mau. Saking larane Nyi Ageng banjur ngamuk-ngamuk, “Titen nana Dampo A Wang, jebul kaya ngono kuwi tumindak alamu. Wis aku ora mung bisa nyulap palu nanging ganden (palu sing paling gedhe). Tumindakmu kuwi wis pancen ora bisa dingapuro maneh. Wis cukup semene wae lara atiku.” Nyi Ageng banjur nyulap gandhen dadi pitik jago. Jenenge Jago Lurik. Ngerti tumindake Dampo A Wang kaya ngono dheweke banjur mbales apa kang wis dilakoni Dampo A Wang karo dheweke. Adu jago kuwi mau ana wektu sela kanggo leren sedhela. Wektu sedela kuwi digunake Nyi Ageng kanggo nyulap ganden dadi jago sing kuwat. Cengger lan jalune gedhe banget, yen ngantem kena mesthi klenger. Wis pokoke ora tandhingane lan ora ana kang bisa ngalahake. Yen mung trima palu sing disulap ora ana bedane padha wae bedhu. Wektu dheweke kalah, dheweke kaya-kaya ana sing mbisiki kupinge. Lan ana swara, kuwi kaya swarane kang wis tau kenal, kaya suara bapake.
Pancen bener dheweke diwenehi ali-ali sing bisa dinggo nyulap gandhen dadi pitik. Bapake kuwi dadi wong tua sing ngango surban lan nanggo klambi putih. Ali-ali sing diwenehke kuwi bisa dienggo apa wae. Salah sijine yaiku mau bisa dinggo nyulap gandhen (palu sing paling gedhe). Ali-ali kuwi sekti mandra guna. Jagone Dampo A Wang mlayu sadurunge tarung bubar. Cengger lan jalu jagone Dampo A Wang wis kena. Cenggere metu getihe akeh, jalune coklek. Wis pokoke jagone dheweke kalah. Dheweke isin amarga wis sumbar bakal ngalahke musuhe nanging kasunyatane dheweke ora bisa ngalahke Nyi Ageng. Kejaba kuwi dheweke uga isin wong lanang kalah karo wong wadon. Nanging kawit cilik kuwi Nyi Ageng diajari dadi bocah wadon sing wani amarga bener lan wedi amarga salah. Dadi Nyi Ageng wiwit cilik wis kendel.Sajake Dampo A Wang isih dendam karo Nyi Ageng. Dheweke sebenere isih kepengin nduweni Nyi Ageng. Dheweke ora bisa nglaliake Nyi Ageng. Nanging Nyi Ageng tetep nolak amarga wis ngerti tumindhake Dampo A Wang kang ala. Dampo A Wang isih tetep nggudak-nggudak Nyi Ageng. Jarene nganti besuk isih bakalan dienteni. Nyi Ageng bingung, dheweke kapengin lunga saka omah lan lunga ngumbara. Dheweke akhire lunga lan mlaku ngliwati alas-alas. Nyi Ageng lunga saka omah amarga dheweke wii ora duwe sapa – sapa. Wong tuane wis ninggal semana uga sedulur siji-sijine uga wis ora ana.
Dheweke uga kepengin ngadoh saka Dampo A Wang. Saben ketemu dheweke mesthi digudak gudhak Dampo A Wang. Dheweke kepengin lunga supaya ora ketemu Dampo A Wang. Dheweke nanging kancanan karo priya jenengne Demang. Kuwi kancane kawit cilik. Wong tuane biyen uga tau kancanan.Nalika digudak-gudak Dampo A Wang, dheweke ditulungi Demang. Banjur dheweke diajak neng omahe Demang. Supaya Dampo A Wang ora ngerti lan ora ngudak-gudak maneh. Kejaba dheweke mesakake karo Nyi Ageng. Sabenere Demang uga nduweni rasa tresna marang Nyi Ageng. Dheweke ora wani jalaran wedi yen ditolak. Amarga kawit biyen dheweke wis kancanan. Wektu mlaku ing tengah alas, dheweke krungu swara bayi nangis. Bayi nangis kuwi mau arep dipangan macan. Dheweke ora tega banjur bayi kuwi mau ditulungi. Bayi kuwi ngelihen banjur dilurokake panganan. Bayi kang nemu ning alas kuwi lanang diwenehi jeneng “Sopo Nyono”. Tegese kuwi, sopo nyono bayi kuwi isih urip ditinggal ing alas dhewekan nganti arep dipangan macan. Sopo Nyono bayi kuwi saiki wis gedhe lan bagus rupane. Nyi Ageng saiki uripe wis ora dhewekan. Bayi kuwi saiki wis diangkat dadi anake. Mula dheweke saiki uga bingung yen bali ing omahe biyen.
Wong durung duwe bojo kok wis duwe anak. Mengko piye omongane wong ning desa. Dheweke mikir-mikir yen kepengin balik neng omah. Amarga dheweke saiki wis ora dhewekan nanging nduweni batur yaiku bayi sing nemu ing tengah alas. Bareng Dampo A Wang ngerti yen Nyi Ageng lunga saka omah dheweke banjur ngongkon kancane nyamar dadi Nyi Ageng kang palsu lan jahat. Kancane kuwi mau jenenge San Pho Wang. Dheweke banjur teka ing desa lan ngaku-ngaku yen dheweke kuwi Nyi Ageng. Dheweke dikongkon mbuktekake yen dheweke bener Nyi Ageng kang asli mula, dheweke kudu bisa mbatik tulis. Kuwi gawean sing paling abot amarga dheweke ora tau mbatik. Dheweke uga kudu bisa nyritakake kabeh uripe wiwit cilik nganti gedhe. Dheweke bingung lan ora mudeng apa-apa.Pagawean kang abot kuwi wis bisa digarap dheweke nyulap kain dadi batik tulis. Dheweke mbuktekake yen bisa nggawe batik tulis. Dheweke uga bisa mangsuli apa wae sing ditakonke wong desa marang dheweke. Bisa nyritakake uripe awit cilik nganti gedhe. Dheweke bisa weruh kabeh amarga diduduhke Dampo A Wang. Nanging saiki dheweke ora sanggup nyamar dadi wong apik. Jalaran Nyi Ageng kuwi tindak-tanduke apik. Ora kaya dheweke sing jahat ora duwe ati. Tega lan mentala karo sapa wae. Dheweke uga ora tau mikirke wong liya.Saiki dheweke njaluk bayaran, jalaran dheweke wis nglakoni kaya apa sing diperintahke. Bareng dheweke ngerti Nyi Ageng sing asli rupane kaya apa.
Dheweke banjur seneng dhewe karo Nyi Ageng. Loro karone malah seneng karo Nyi Ageng kabeh. Antarane Dampo A Wang lan San Pho Wang banjur seneng karo Nyi Ageng kabeh. Dheweke njaluk supaya Nyi Ageng bisa dadi duweke. Nanging Dampo A Wang ora trima yen dheweke njaluk kuwi. Dampo A Wang kawit biyen uga wis seneng karo Nyi Ageng. Nanging nganti saiki durung bisa duweni. Tresnane nganti kepati-pati karo Nyi Ageng. Nyi Ageng kuwi wira amarga dheweke sing bisa jaga Bakaran saka wong-wong sing pengin nguasani desa Bakaran. Nyi Ageng kuwi bener-bener bocah wadon sing pinter, sabar lan apik ati. Mula pancen bener yen wong lanang padha seneng marang dheweke. Kejaba ayu rupane uga ayu atine. Nanging dheweke durung seneng urip bebrayan karo wong lanang amarga wong akeh lanang kang padha ugal-ugalan. Wong lanang kang apik bisa dietung nganggo driji. Sing ngenteni lan kang nglamar nganti teka lunga. Pokoke jodho, pathi, lan rejeki kabeh kuwi ana sing ngatur. Kabeh mau diatur Gusti kang Maha Kuasa. Akhire Nyi Ageng kang asli wis bali ning desane, karo nggawa bayi. Dheweke banjur ceritake yen nemu bayi saka alas. Wong-wong wis padha percaya. Banjur San Pho Wang kuwi mau ketruduk yen dheweke Nyi Ageng palsu. Dheweke banjur njaluk ngapura lan ngaku yen kang kongkon kuwi mau Dampo A Wang.
Dheweke banjur dihukum nanging hukumane luwih ringan jalaran dheweke gelem jujur. Kabeh mau dhalange Dampo A Wang. Nyi Ageng lan wong kampung kabeh ngukum Dampo A Wang. Jalaran dheweke kang marai gawe ontran-ontran lan geger gember. Dampo A Wang kuwi pancen musuh sing licik.Nyi Ageng duwe kanca jenenge Demang sing tau seneng dheweke nanging ora wani kandha. Wong loro kawit cilik wis kancanan. Wong tuane uga kancanan. Mula dheweke wis akrap karo kluargane Demang. Akhire Demang wani nglamar Ageng lan lamaran mau uga ditampa Ageng. Amarga wong loro kuwi padha tresnane. Demang banjur critake kabeh kang ana ning jero isi atine marang Nyi Ageng. “Ageng sebenere awit biyen aku wis seneng awakmu.” “Semana uga aku kangmas.” “Aku ora wani kandha jalaran biyen kene tau kancanen.” “Banjur…!” “Aku wedhi nek mbok tolak, lan mung mbok anggep kanca biasa lan hubungane kene ora bisa luwih saka kanca.” “Saiki terus banjur piye?” “Ngene lho wong ayu, apa awakmu gelem tak lamar lan urip bebrayan bareng karo aku.” “Injih kangmas, Ageng purun.”Kabeh usahane kuwi jebule ana kang ngewangi. Kancane Nyi Ageng kang wiwit cilikane wis seneng karo tindak-taduke Nyi Ageng. Jaka kuwi jenenge Demang. Bocahe kuwi gedhe dhuwur lan bagus rupane. Dheweke uga ngerti yen Ageng nemu lan didadekake anan angkat. Dheweke gelem nampa Ageng apa anane. Saka kuwi Ageng uga tresna marang Demang lan nampa lamarane. Dheweke banjur kawinan lan didadekake demang ing desa, jalaran pantes karo jenenge.
Demang kuwi priya kang bakal bisa njaga Ageng lan tanggung jawabe gedhe.Dampo A Wang saking lara atine amarga ora ditampa lamarane. Mula dheweke banjur ngobong alas nganti entek resik. Banjur Nyi Ageng jenengake desa kuwi dadi desa Bakaran. Jalaran asale saka obong-obongan lan bakar-bakaran. Amarga alas kuwi mau amba banget mula dibagi dadi loro. Bakaran Wetan lan Bakaran Kulon. Bakaran Wetan kuwi bisa digawe dadi sawah. Semana uga Bakaran Kulon bisa digawe dadi tambak. Loro karone bisa ngasilake pangan lan iwak. Dheweke uga kepengin nguasai desa bakaran kang panggonane cedhak karo segara lan pelabuhan. Dheweke kepengin nguasai usaha perdagangan. Pelabuhan kuwi kang bisa nggabungke bandhar-bandhar gedhe kaya ing kutha Semarang. Bakaran biyen akeh kang kepengin nguwasai kejaba cedhak segara uga ana sawahe. Nanging saiki sawah ing Bakaran wis dadi tambak kabeh. Nyi Ageng pundene ning Bakaran Wetan. Bakaran Kulon kuwi pundene sing lanang yaiku Mbah Demang. Jenenge yen digandheng dadi Mbah Demang, Nyi Ageng. Kaya ngana kuwi critane desa Bakaran kang nganti saiki isih wutuh kaya ngana. Mlebu pundhen kuwi sandale kudu dicopot. Saben ana mantenan lan bayi lahir kudu diubengke pundhen.
Kuwi kanggo duduhake marang Mbah Demang, Nyi Ageng yen ana anak putune kang anyar. Kuwi kudu diubengke yen ora mula bisa cilaka kabeh. Pundhen kuwi mau bisa kanggo nyekar. Desa Bakaran kuwi akeh tradhisine lan larangane. Kuwi diturunake Nyi Ageng lan saanak putune sing urip ing Desa Bakaran. Ing desa Bakaran uga tau ana wong kuwi uripe pas-pasan. Jenenge Parmin dheweke nyambut gawe lunga menyang lampung. Dheweke ning kaya digudak-gudak macan. Dheweke mulih ning Bakaran maneh omonge jalaran ora krasan. Nanging dheweke tau diweruhi wong tua nganggo klambi lan surban putih supaya jupuk lemah saka pundhen Bakaran. Lemah kuwi dikonkon buntel nganggo mori putih lan dikongkon nggawa ing Lampung. Kabeh kuwi kanggo bukti marang Danyang Bakaran. Saiki uripe kepenak, uga wareg sandhang lan pangan.

sumber http://ketoprakjawa.wordpress.com/2010/09/18/dumadine-desa-bakaran-juwana/


Mengungkap Sosok Saridin (Syeh Jangkung)

Syeh Jangkung ketika Kecil Sangat Nakal.
SIAPA sebenarnya Saridin itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, warga Pati dan sekitarnya mungkin bisa membaca buku Babad Tanah Jawa yang hidup sekitar awal abad ke-16. Sebab, menurut cerita tutur tinular yang hingga sekarang masih diyakini kebenarannya oleh masyarakat setempat, dia disebut-sebut putra salah seorang Wali Sanga, yaitu Sunan Muria dari istri bernama Dewi Samaran.
Siapa wanita itu dan mengapa seorang bayi laki-laki bernama Saridin harus dilarung ke kali? Konon cerita tutur tinular itulah yang akhirnya menjadi pakem dan diangkat dalam cerita terpopuler grup ketoprak di Pati, Sri Kencono. Cerita babad itu menyebutkan, bayi tersebut memang bukan darah daging Sang Sunan dengan istrinya, Dewi Samaran.
Terlepas sejauh mana kebenaran cerita itu, dalam waktu perjalanan cukup panjang muncul tokoh Branjung di Desa Miyono yang menyelamatkan dan merawat bayi Saridin hingga beranjak dewasa dan mengakuinya sebagai saudaranya. Cerita pun merebak. Ketika masa mudanya, Saridin memang suka hidup mblayang (berpetualang) sampai bertemu dengan Syeh Malaya yang dia akui sebagai guru sejati.
Syeh Malaya itu tak lain adalah Sunan Kalijaga. Kembali ke Miyono, Saridin disebutkan telah menikah dengan seorang wanita yang hingga sekarang masyarakat lebih mengenal sebutan ”Mbokne (ibunya) Momok” dan dari hasil perkawinan tersebut lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Momok.
Sampai pada suatu ketika antara Saridin dan Branjung harus bagi waris atas satu-satunya pohon durian yang tumbuh dan sedang berbuah lebat. Bagi waris tersebut menghasilkan kesepakatan, Saridin berhak mendapatkan buah durian yang jatuh pada malam hari, dan Branjung dapat buah durian yang jatuh pada siang hari.
Kiasan
Semua itu jika dicermati hanyalah sebuah kiasan karena cerita tutur tinular itu pun melebar pada satu muara tentang ketidakjujuran Branjung terhadap ibunya Momok. Sebab, pada suatu malam Saridin memergoki sosok bayangan seekor macan sedang makan durian yang jatuh.
Dengan sigap, sosok bayangan itu berhasil dilumpuhkan menggunakan tombak. Akan tetapi, setelah tubuh binatang buas itu tergolek dalam keadaan tak bernyawa, berubah wujud menjadi sosok tubuh seseorang yang tak lain adalah Branjung.
Untuk menghindari cerita tutur tinular agar tidak vulgar, yang disebut pohon durian satu batang atau duren sauwit yang menjadi nama salah satu desa di Kecamatan Kayen, Durensawit, sebenarnya adalah ibunya Momok, tetapi oleh Branjung justru dijahili.
Terbunuhnya Branjung membuat Saridin berurusan dengan penguasa Kadipaten Pati. Adipati Pati waktu itu adalah Wasis Joyo Kusumo yang harus memberlakukan penegakan hukum dengan keputusan menghukum Saridin karena dinyatakan terbukti bersalah telah membunuh Branjung.
Meskipun dalam pembelaan Saridin berulang kali menegaskan, yang dibunuh bukan seorang manusia tetapi seekor macan, fakta yang terungkap membuktikan bahwa yang meninggal adalah Branjung akibat ditombak Saridin.
Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, dia harus menjalani hukuman yang telah diputuskan oleh penguasa Pati.
Pulang

Sebagai murid Sunan Kalijaga yang tentu mempunyai kelebihan dan didorong rasa tak bersalah, kepada penguasa Pati dia menyatakan telah punya istri dan anak. Karena itu, dia ingin pulang untuk menengok mereka.
Ulahnya Menjengkelkan Sunan Kalijaga
ONTRAN – ontran Saridin di perguruan Kudus tidak hanya menjengkelkan para santri yang merasa diri senior, tetapi juga merepotkan Sunan Kudus. Sebagai murid baru dalam bidang agama, orang Miyono itu lebih pintar ketimbang para santri lain.
Belum lagi soal kemampuan dalam ilmu kasepuhan. Hal itu membuat dia harus menghadapi persoalan tersendiri di perguruan tersebut. Dan itulah dia tunjukkan ketika beradu argumentasi dengan sang guru soal air dan ikan.
Untuk menguji kewaskitaan Saridin, Sunan Kudus bertanya, “Apakah setiap air pasti ada ikannya?” Saridin dengan ringan menjawab, “Ada, Kanjeng Sunan.”
Mendengar jawaban itu, sang guru memerintah seorang murid memetik buah kelapa dari pohon di halaman. Buah kelapa itu dipecah. Ternyata kebenaran jawaban Saridin terbukti. Dalam buah kelapa itu memang ada sejumlah ikan. Karena itulah Sunan Kudus atau Djafar Sodiq sebagai guru tersenyum simpul.
Akan tetapi murid lain menganggap Saridin lancang dan pamer kepintaran. Karena itu lain hari, ketika bertugas mengisi bak mandi dan tempat wudu, para santri mengerjai dia. Para santri mempergunakan semua ember untuk mengambil air.
Saridin tidak enak hati. Karena ketika para santri yang mendapat giliran mengisi bak air, termasuk dia, sibuk bertugas, dia menganggur karena tak kebagian ember. Dia meminjam ember kepada seorang santri.
Namun apa jawab santri itu? ”Kalau mau bekerja, itu kan ada keranjang.” Dasar Saridin. Keranjang itu dia ambil untuk mengangkut air. Dalam waktu sekejap bak mandi dan tempat wudu itu penuh air. Santri lain pun hanya bengong.
Dalam WC
Cerita soal kejadian itu dalam sekejap sudah diterima Sunan Kudus. Demi menjaga kewibawaan dan keberlangsungan belajar para santri, sang guru menganggap dia salah. Dia pun sepantasnya dihukum.
Sunan Kudus pun meminta Saridin meninggalkan perguruan Kudus dan tak boleh lagi menginjakkan kaki di bumi Kudus. Vonis itu membuat Saridin kembali berulah. Dia unjuk kebolehan.
Tak tanggung-tanggung, dia masuk ke lubang WC dan berdiam diri di atas tumpukan ninja. Pagi-pagi ketika ada seorang wanita di lingkungan perguruan buang hajat, Saridin berulah. Dia memainkan bunga kantil, yang dia bawa masuk ke lubang WC, ke bagian paling pribadi wanita itu.
Karena terkejut, perempuan itu menjerit. Jeritan itu hingga menggegerkan perguruan. Setelah sumber permasalahan dicari, ternyata itu ulah Saridin. Begitu keluar dari lubang WC, dia dikeroyok para santri yang tak menyukainya. Dia berupaya menyelamatkan diri. Namun para santri menguber ke mana pun dia bersembunyi.
Lagi-lagi dia menjadi buronan. Selagi berkeluh kesah, menyesali diri, dia bertemu kembali dengan sang guru sejati, Syekh Malaya.
Sang guru menyatakan Saridin terlalu jumawa dan pamer kelebihan. Untuk menebus kesalahan dan membersihkan diri dari sifat itu, dia harus bertapa mengambang atau mengapung) di Laut Jawa.
Padahal, dia tak bisa berenang. Syekh Malaya pun berlaku bijak. Dua buah kelapa dia ikat sebagai alat bantu untuk menopang tubuh Saridin agar tak tenggelam.
Dalam cerita tutur-tinular disebutkan, setelah berhari-hari bertapa di laut dan hanyut terbawa ombak akhirnya dia terdampar di Palembang. Cerita tidak berhenti di situ. Karena, dalam petualangan berikutnya, Saridin disebut-sebut sampai ke Timur Tengah.
Lulang Kebo Landoh Tak Tembus Senjata
ATAS jasanya menumpas agul-agul siluman Alas Roban, Saridin mendapat hadiah dari penguasa Mataram, Sultan Agung, untuk mempersunting kakak perempuannya, Retno Jinoli.
Akan tetapi, wanita itu menyandang derita sebagai bahu lawean. Maksudnya, lelaki yang menjadikannya sebagai istri setelah berhubungan badan pasti meninggal.
Dia harus berhadapan dengan siluman ular Alas Roban yang merasuk ke dalam diri Retno Jinoli. Wanita trah Keraton Mataram itu resmi menjadi istri sah Saridin dan diboyong ke Miyono berkumpul dengan ibunya, Momok.
Saridin membuka perguruan di Miyono yang dalam waktu relatif singkat tersebar luas sampai di Kudus dan sekitarnya. Kendati demikian, Saridin bersama anak lelakinya, Momok, beserta murid-muridnya, tetap bercocok tanam.
Sebagai tenaga bantu untuk membajak sawah, Momok minta dibelikan seekor kerbau milik seorang warga Dukuh Landoh. Meski kerbau itu boleh dibilang tidak lagi muda umurnya, tenaganya sangat diperlukan sehingga hampir tak pernah berhenti dipekerjakan di sawah.
Mungkin karena terlalu diforsir tenaganya, suatu hari kerbau itu jatuh tersungkur dan orang-orang yang melihatnya menganggap hewan piaraan itu sudah mati. Namun saat dirawat Saridin, kerbau itu bugar kembali seperti sedia kala.
Membagi
Dalam peristiwa tersebut, masalah bangkit dan tegarnya kembali kerbau Landoh yang sudah mati itu konon karena Saridin telah memberikan sebagian umurnya kepada binatang tersebut. Dengan demikian, bila suatu saat Saridin yang bergelar Syeh Jangkung meninggal, kerbau itu juga mati.
Hingga usia Saridin uzur, kerbau itu masih tetap kuat untuk membajak di sawah. Ketika Syeh Jangkung dipanggil menghadap Yang Kuasa, kerbau tersebut harus disembelih. Yang aneh, meski sudah dapat dirobohkan dan pisau tajam digunakan menggorok lehernya, ternyata tidak mempan.
Bahkan, kerbau itu bisa kembali berdiri. Kejadian aneh itu membuat Momok memberikan senjata peninggalan Branjung. Dengan senjata itu, leher kerbau itu bisa dipotong, kemudian dagingnya diberikan kepada para pelayat.
Kebiasan membagi-bagi daging kerbau kepada para pelayat untuk daerah Pati selatan, termasuk Kayen, dan sekitarnya hingga 1970 memang masih terjadi. Lama-kelamaan kebiasaan keluarga orang yang meninggal dengan menyembelih kerbau hilang.
Kembali ke kerbau Landoh yang telah disembelih saat Syeh Jangkung meninggal. Lulang (kulit) binatang itu dibagi-bagikan pula kepada warga. Entah siapa yang mulai meyakini, kulit kerbau itu tidak dimasak tapi disimpan sebagai piandel.
Barangsiapa memiliki lulang kerbau Landoh, konon orang tersebut tidak mempan dibacok senjata tajam. Jika kulit kerbau itu masih lengkap dengan bulunya. Keyakinan itu barangkali timbul bermula ketika kerbau Landoh disembelih, ternyata tidak bisa putus lehernya.

sumber http://ketoprakjawa.wordpress.com/2010/09/24/mengungkap-sosok-saridin-syeh-jangkung/

ASAL USULE KUTHA PATI

Ing Pantai Lor Pulo Jawa ( Pantura ), sekitar Gunung Muria bagian Wetan, ana penguasa sing kasebut Adipati, wilayah kekuasaane kasebut kadipaten. Ana penguasa loro jaman iku yaiku kadipaten Paranggaruda lan kadipaten Carangsoka. Kadipaten Paranggaruda dipimpin Adipati Yudhapati, wilayahe saka kali Juwana mengidul nganti pegunungan gamping lor batesan karo wilayah kabupaten Grobogan. Yudhapati nduweni putra jenenge Raden Jasari.
Sawetara iku, kadipaten Carangsoka dipimpin dening adipati Puspa Andungjaya, wilayahe saka lor kali Juwana nganti Pantai Lor Jawa Tengah bagian Wetan. Adipati Carangsoka nduwe anak wadon jenenge Rara Rayungwulan.
Kacarita, lelorone kadipaten iku urip rukun padha ngurmati siji lan sijine. Kanggo nglestarekake pasedulurane, penguasa Kadipaten sarujuk ndaupake putra lan putrine.
Adipati Paranggaruda ngirim utusane nglamar Rara Rayungwulan, putrine Adipati Carangsoka. Lamarane ditampa, nanging calon penganten putrid njaluk bebana supaya ing acara pahargyan boja wiwaha dhaup dimeriahake pagelaran wayang kanthi dalang kondhang sing jenenge Sapanyana.
Kanggo nglurusake bebana iku Adipati Paranggaruda yaiku Adipati Yudhapati nugasake Yuyurumpung, penggedhe ing Paranggaruda. Kanggo nglaksanakake tugase, Yuyurumpung niat nglumpuhake wibawa kadipaten Carangsoka kanthi cara nguasai pusaka piyandele kadipaten Carangsoka pusaka keris rambut pinutung lan kuluk kadigoro sing diduweni raden Sukmayana, penggene Majasemi, salah sijine bagian kadipaten Carangsoka.
Pusaka loro kasil kajupuk kanthi bantuan Sondong Majeruk, wong sekti ing Paranggaruda. Nanging sak durunge diwenehake Yuyurumpung, pusaka loro bisa direbut dening Sondong Makarti sala Wedari. Wasana Sondong Majeruk mati, pusaka keris rambut pinutung lan kuluk kanigara diaturake Raden Sukmayana.
Sanadyan mangkana Yuyurumpung kasil nerusake tugase nggoleki dhalang sapanyana supaya dhaupe putra adipati parang garuda lan putrine adipati Gatangsoko bisa kaleksanan. Nanging ngepasi acara resepsi nembe kawiwitan, penganten putri ninggalake kursi penganten menyang panggon lan mlayu karo dhalang Sapanyana saengga dhaupe Raden Jasati lan Rara Rayungwulan ora sida dileksanakake.
Adipati Yudhapati rumengsa diasorake, akhire mutusake memungsuhan karo adhipati puspa andungjaya. Kadipaten loro sing rikala semana urip rukun akhire perang. Ana ing paperangan iku, pemimpin prajurit kadipaten Carangsoka, Raden Sukmayana gugur lan digentani adhike yaiku Raden Kembangjaya. Kanthi dibantu dalang Sapanyana sing nggunakake pusaka sekti, kasil menang ana ing paperangan lawan kadipaten Paranggaruda. Adipati Paranggaruda Yudhapati lan putrane Raden Jasari gugur. Karana jasane Raden Kembangjaya didhaupake karo Rr. Rayungwulan lan diangkat ngganteni Yudhapati dadi adipati, dalang Sapanyana diangkat dadi patih kanthi gelar Singasari. Kanggo ngatur pemerintahan sing ditambah amba ngidul, adipati R. Kembangjaya mindahake pusat pemerintahan ana ing desa Kemiri kanthi ngganti dadi kadipaten Pesantrenan lan jejuluk adipati Jayakusuma. Raden Jayakusuma nduweni putra jenenge Raden Tambranegara.
Kanggo ngembangake pembangunan lan pemerintahan, Raden Tambranegara mindahaken pusat pemerintahan sing sakdurunge ana ing Kemiri arah ngulon ing desa Kaborongan, jeneng Pesantenan uga diganti dadi Kadipaten Pati.

sumber http://ketoprakjawa.wordpress.com/2010/09/18/asal-usule-kutha-pati/